Jakarta — Kasus penangkapan F.W. (61), Direktur PT Bangkit Cipta Mandiri (BMC), oleh Tim Penegakan Hukum Kehutanan (GAKKUMHUT) Sulsel Wilayah Makassar I, membuka tabir baru kejahatan kehutanan di wilayah timur Indonesia. F.W. diduga kuat menjadi bagian dari rantai distribusi kayu ilegal asal Sorong, Papua Barat Daya, yang selama ini mengalir deras tanpa dokumen sah ke berbagai wilayah.
Menurut informasi yang dihimpun, kayu-kayu tersebut berasal dari kawasan hutan adat, ditebang secara liar, dan dikirimkan tanpa prosedur perizinan resmi yang seharusnya melalui sistem informasi legalitas hasil hutan (SILK).
Praktik semacam ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak ekosistem hutan tropis Papua dan menghancurkan ruang hidup masyarakat adat. Di wilayah Sorong, suara protes terus mengalir dari komunitas adat yang merasa hak-hak mereka telah dilanggar secara sistematis.
> “Hutan kami bukan untuk dijual, apalagi dibabat habis untuk kepentingan pengusaha. Kami jaga hutan ini turun-temurun, tapi sekarang hutan tinggal cerita karena ulah para mafia kayu,” tegas seorang tetua adat Sorong dalam pernyataan resminya.
DPN FAMI Beberkan Skema Kejahatan Perusahaan Kehutanan
Menanggapi kasus ini, Federasi Advokat Muda Indonesia (DPN FAMI) melalui Sekjen Adv. Binsar Luhut Pangaribuan, mengeluarkan pernyataan tegas: pihaknya telah mengantongi daftar sejumlah perusahaan yang diduga menjadi bagian dari skema kejahatan kehutanan di wilayah Papua Barat Daya.
Dalam pernyataannya, Binsar menyebut beberapa pola pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut, antara lain:
Menerima kayu pacakan dari masyarakat lokal tanpa izin;
Mengangkut dan memperdagangkan hasil hutan tanpa dokumen sah (illegal transport & trading);
Penebangan liar (illegal logging) di dalam dan sekitar kawasan hutan lindung maupun hutan produksi terbatas;
Perusakan kawasan hutan dengan membuka jalan logging ilegal dan pembakaran hutan.
> “Kami menduga kuat praktik ini telah berlangsung lama dan melibatkan jaringan perusahaan yang saling terkoneksi. Kami akan menyerahkan data tersebut ke penegak hukum, dan bila perlu menggugat secara perdata untuk memulihkan kerugian masyarakat adat,” ujar Binsar.
DPN FAMI bahkan mengklaim bahwa beberapa perusahaan beroperasi dengan modus ‘kerjasama pemberdayaan masyarakat’ sebagai tameng legalitas, padahal di balik itu terjadi eksploitasi besar-besaran dan pemalsuan dokumen angkutan hasil hutan.
Desakan Penegakan Hukum dan Reformasi Tata Kelola
Binsar menegaskan, DPN FAMI akan mengawal proses hukum terhadap F.W. hingga ke pengadilan, dan mendorong agar aparat penegak hukum membongkar pihak-pihak lain yang ikut terlibat, termasuk kemungkinan adanya oknum aparatur sipil negara (ASN) atau pejabat daerah yang memberikan perlindungan.
Selain itu, DPN FAMI meminta pemerintah pusat melalui KLHK dan Satgas Pemberantasan Mafia Tanah dan Hutan untuk:
1. Melakukan audit menyeluruh terhadap perizinan perusahaan kehutanan di Papua Barat Daya;
2. Membekukan izin perusahaan yang terlibat;
3. Melindungi masyarakat adat sebagai korban kejahatan lingkungan;
4. Membuka saluran pengaduan masyarakat dan whistleblower.
> “Kejahatan kehutanan bukan hanya soal pelanggaran lingkungan, ini adalah pelanggaran hak asasi masyarakat adat. Negara harus hadir. Jika negara abai, kami akan bertindak,” pungkasnya.
Saat ini, publik menanti keberanian penegak hukum dalam membongkar jaringan mafia kayu yang diduga kuat tidak berdiri sendiri. DPN FAMI menegaskan, langkah mereka tidak akan berhenti hanya pada kasus F.W., tapi akan menyasar akar sistemik dari kejahatan kehutanan yang selama ini berlangsung tanpa sentuhan hukum yang serius.